Indonesia, Antara Bencana Alam dan Bencana Kemanusiaan
Deputi
Menteri Pertahanan AS Paul Wolfowitz, Ahad 16 Januari bertamu ke Indonesia dengan tujuan resmi meninjau pasukan militer AS
yang menjadi relawan di Aceh. Namun, dari kata-katanya dalam pertemuan dengan sejawatnya di Indonesia, Yuwono Sudarsono, Wolfowitz
nampak menyelipi tujuan itu dengan soal hubungan militer antara AS dan Indonesia. Dia menyatakan pihaknya ingin mencabut embargo
militer AS terhadap Indonesia demi membuka lagi hubungan militer kedua negara.
Embargo
itu sendiri diputuskan oleh Kongres AS tahun 1999 dengan dalih TNI telah melanggar HAM di Timtim, dan sejak itu pula hubungan
Jakarta dengan Washington terlihat beku. Padahal, di era Perang Dingin, TNI yang saat itu bernama ABRI banyak mendapat pelatihan
dan pasokan senjata dari AS. Dengan kata lain, AS ikut berperan banyak dalam memperkuat TNI sehingga institusi militer Indonesia
ini menjadi salah satu mitra militer AS yang tangguh di kawasan Asia Tenggara.
Untuk
sebagian kalangan di Negeri Paman Sam, AS tidak perlu berlama-lama menindak Indonesia terkait kasus Timtim. Pendapat ini direspon
baik oleh kaum konservatif yang berkuasa di AS. Ketika Aceh dan Sumut diterjang tsunami, mereka merasa mendapat momen untuk
menindak-lanjuti hal tersebut guna mengembalikan peranan militer AS di Indonesia. Dengan demikian, kentara sekali bahwa di
saat Indonesia sedang kelabakan dalam upayanya menanggulangi dampak bencana tsunami, AS malah lebih memikirkan interes militernya
di Indonesia.
Mengenai
bantuan AS kepada korban tsunami Aceh dan Sumut, seperti dinyatakan kalangan pemerhati, jumlah bantuan itu masih tak seberapa
jika dibandingkan dana milyaran Dolar yang dihambur-hamburkan AS hanya untuk menduduki Irak dan apalagi menebar bencana di
negeri kaya minyak ini. Kemudian, dengan mengirim pasukan militernya sebagai relawan di Aceh, tujuan yang terpenting bagi
AS ialah memaniskan citra militer AS yang selama ini sudah sangat busuk di mata umat Islam Indonesia, terutama sejak AS menginvasi
Irak. Tujuan itu dinilai penting karena tanpa itu AS jelas sulit berharap bisa mengembalikan peranan militernya di Indonesia.
Namun demikian, upaya mmperbaiki citra militer AS di mata publik Indonesia itu justru sulit diharapkan
sukses ketika Wolfowitz membuka kedoknya dengan bicara soal ekspor senjata buatan AS ke Indonesia. Perbaikan citra itu
juga tidak mudah bisa dicapai AS di saat perekonomian Indonesia juga disengsarakan oleh kebijakan lembaga-lembaga moneter
dunia yang dikendalikan oleh Washington. Kata sebagai pengamat, kalau Indonesia sekarang menjadi korban gelombang tsunami
yang merupakan bencana alam, maka sebelumnya Indonesia adalah korban gelombang ketidak-adilan sistem moneter dan perekonomian
dunia yang merupakan bencana kemanusiaan.
Reaksi Eropa terhadap Musibah Tsunami
Musibah
gempa bumi dan tsunami yang melanda negara-negara Asia selatan dan tenggara ternyata mengimbas ke permasalahan politik di
sejumlah negara Eropa. Tragedi dengan skala luas dan bersifat internasional itu memang sangat dahsyat. Secara sepintas saja,
ketika kita mendengar berita tersebut, kita bisa langsung merasakan sangat beratnya beban penderitaan yang dialami oleh para
korban. Seandainya ada pihak-pihak yang dipastikan mampu memberikan bantuan, tapi ternyata mereka menunjukkan ketidakpeduliannya
atas bencana tersebut, kita tentu paling tidak, akan menyayangkannya, atau malah mengecamnya. Nilai kemanusiaan mereka sangat
layak untuk kita pertanyakan.
Fenomena
inilah yang terjadi di negara-negara Eropa. Yang paling mencolok adalah perilaku PM Inggris Tony Blair. Ia yang pada saat
terjadinya bencana sedang melewatkan liburan Natal dan Tahun Baru di kawasan wisata Sharm El-Sheikh, Mesir, secara jelas-jelas
menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap bencana itu dengan cara tetap menikmati masa-masa liburnya. Padahal, ribuan manusia
di seberang bumi sana tewas. Perilaku Blair ini langsung mendapatkan kritikan keras dari berbagai kelompok di dalam negeri
Inggris.
Para
pemimpin negara-negara Eropa lainnya juga mendapatkan kritikan sama, meskipun tensinya tidak sekeras apa yang diterima oleh
Blair. Kalangan dalam negeri di negara-negara tersebut juga mengecam ketidakpedulian para politisi nasional atas nasib warga
mereka yang turut tewas dalam bencana tersebut saat mereka melakukan wisata. Berbagai laporan menyebutkan bahwa jumlah wisatawan
mancanegara yang tewas dalam musibah itu mencapai angka 9.000 orang, dan sebagian besarnya berasal dari negara-negara Eropa.
Mendapatkan
kritikan seperti itu, para pemimpin negara-negara Eropa malah menunjukkan rekasi yang bisa dikatakan masih tidak proporsional.
Sejumlah negara Eropa melakukan koordinasi satu sama lain untuk memberikan bantuan bersama-sama. Akan tetapi terlihat sekali
bahwa cara kerja mereka sangat lambat dan terkesan asal-asalan. Mereka juga beramai-ramai memberikan janji bantuan keuangan.
Akan tetapi, hampir semuanya tidak menyebut tanggal pasti, kapan bantuan itu akan diberikan. Jerman lebih parah lagi. Beberapa
hari lalu, Kanselir Jerman Gerhard Schroeder menyatakan bahwa negaranya akan memberikan bantuan sebesar 500 Juta Euro. Akan
tetapi, bantuan itu pasti tidak akan diberikan dalam jangka waktu tiga tahun ke depan. Artinya, bantuan itu baru bisa diberikan
setelah tiga tahun, atau setelah empat tahun, atau, seperti yang disinyalir pejabat PBB Jan Egeland, mungkin tidak dibayarkan
sama sekali karena nanti pada akhirnya akan kehilangan momentnya.
Inilah potret peradaban Barat yang memandang manusia sebagai
makhluk yang penuh dengan angka-angka ekonomis. Masyarakat yang sudah mengidentifikasi diri sebagai “economic animal”
memang akan melakukan segala-galanya dalam hidup ini berdasarkan pada keuntungan dan kerugian materi. Yang pasti, peradaban
seperti ini sangat tidak layak untuk menjadi pemimpin dunia.
Antara Bam dan Aceh
Pada pagi hari tanggal 26 Desember tahun 2003, tepat hari yang sama di tahun 2004 ketika gempa mengguncang Aceh,
dunia dikejutkan oleh bencana gempa bumi dahsyat yang menghancurkan satu kota di Iran, yaitu kota Bam. Kota ini terkenal karena
memiliki kompleks kota kuno era Dinasti Sasania yang berusia lebih dari 2000 tahun. Akibat gempa berkekuatan 6,6 skala richter
itu, hampir semua rumah di Kota Bam yang umumnya dibangun dari tanah liat hancur lebur dan sekitar 40.000 orang tewas tertimbun
bangunan. Dahsyatnya bencana ini membuat Iran dibanjiri bantuan dari seluruh dunia. Hanya tiga hari setelah kejadian, sekitar
40 pesawat asing penuh berisi bantuan mendarat di Iran Dua di antaranya pesawat dari Amerika Serikat (AS), yang selama ini
dijuluki Setan Besar oleh Iran, dan AS pun menjuluki Iran sebagai poros setan.
Bila kita membandingkan situasi penanganan bencana Bam dengan bencana Aceh, kita akan melihat poin-poin menarik.
Harian Republika edisi 15 Januari 2005 menulis:
Selama masa emergency Iran memang menerima banyak sekali bantuan
dari negara lain. ''Tapi, semua bantuan itu langsung didistribusikan sendiri oleh warga Iran,'' ungkap Duta Besar Iran untuk
Indonesia, Shaban Shahidi-Moaddab, saat menerima Republika di kantornya, Kamis (13/1) petang. Tak ada satu pun helikopter
maupun pesawat asing yang ikut terbang di Iran untuk mendistribusi bantuan.
Shaban menjelaskan bahwa langkah itu ditempuh karena Iran
memang mampu mendistribusikan sendiri bantuan-bantuan tersebut dengan pesawat serta helikopter yang dimilikinya. Karena itu,
pihaknya merasa lebih aman jika soal distribusi bantuan ditangani sendiri. Secara cepat, Pemerintah Iran juga memobilisasi
polisi ke Bam untuk membantu para korban. Kantor berita Iran IRNA pada 28 Desember 2003 (dua hari setelah kejadian) menulis,
pemerintah sudah mengirim 7.000 polisi ke Bam. Presiden Iran, Muhammad Khatami, pun mengerahkan seluruh kekuatan militernya
untuk mengevakuasi Bam.
Tak ketinggalan, para ulama di Iran ikut turun ke Bam untuk
menyambangi para korban. Selain ikut mendistribusi bantuan, mengevakuasi jenazah, kalangan ulama ini juga menyediakan dirinya
untuk menjadi tempat mencurahkan perasaan bagi para korban yang masih hidup. Mereka dengarkan semua gundah hati. Mereka juga
tidur di tempat-tempat pengungsian bersama para korban. ''Langkah ini memberi pengaruh yang sangat kuat dalam meringankan
beban mental para korban,'' lanjut Shaban.
Karena itu, dia pun menyarankan agar ulama-ulama Indonesia
kini juga perlu segera datang ke Aceh untuk memberi dukungan mental kepada para korban. Kesediaan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) mengeluarkan beberapa fatwa soal Aceh dinilainya cukup baik. Cuma, katanya, para korban gempa dan tsunami itu juga memerlukan
para ulama datang menyambangi. Begitu masa emergency teratasi, tahap penanganan Bam masuk pada rehabilitasi. Dalam pertemuan
dengan 50 negara donor di Jenewa, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan bahwa untuk rehabilitasi Bam diperlukan dana
satu miliar dolar AS.
Namun, kemudian PBB juga mengungkap bahwa dari kebutuhan sebesar
itu dan komitmen bantuan yang begitu banyak, ternyata realisasinya sampai Januari 2004 baru 17 juta dolar AS. Jauh panggang
dari api. Hal inipun diakui Presiden Khatami. Selain dari situ, Iran juga menerima pinjaman jangka panjang untuk merehabilitasi
Bam. Cuma, negara ini sangat selektif dalam memilih pinjaman. Tidak semua tawaran diterimanya. Pinjaman yang memiliki banyak
persyaratan ditolaknya.
Pinjaman itu, antara lain, datang dari Bank Dunia sebesar
200 juta dolar AS dan 200 juta dolar AS dari Islamic Development Bank (IDB). Dana tersebut dicairkan berdasar proyek yang
berjalan. Artinya, Iran tidak langsung menerima semua dana itu secara kontan. Sejatinya, negara-negara Arab juga hendak memberi
bantuan sebesar 400 juta dolar AS. Namun, karena terlalu banyak persyaratan, maka Iran menolaknya. Selain itu, bantuan juga
datang dari Jepang dan Spanyol, berupa material konstruksi bangunan.
Dana-dana tersebut memang disupervisi oleh lembaga-lembaga
Asing. Tapi, Iran tidak mau biaya operasional tim supervisi itu diambil dari dana bantuan. ''Mereka membayar timnya dengan
uang mereka sendiri,'' tutur Shaban. Dibanding tingkat kerusakannya, angka-angka itu belumlah cukup untuk mengembalikan Bam
seperti sedia kala. Karena itu, Pemerintah Iran pun merogoh anggarannya sendiri. ''Barangkali, sampai saat ini 95 persen rehabilitasi
Bam kami topang sendiri,'' lanjutnya.
Meski begitu, Iran tetap menjadi negara yang terbuka. Saat
ini, setahun setelah gempa terjadi, 30 lembaga swadaya masyarakat (LSM) masih bergerak di Bam. Kira-kira 30 LSM itu mempekerjakan
1.600 aktivis. Mereka diizinkan masuk Bam karena mengantongi visa dari Kedutaan Besar Iran di negara masing-masing. Tanpa
visa, mereka tak akan bisa masuk Iran
.
Pemerintah Iran mau menerima karena mereka hadir sebagai
LSM, bukan sebagai wakil negara asing. Mereka dipercaya tidak akan menjalankan aksi mata-mata yang merugikan Iran. Meski begitu,
kehadiran mereka tetap dipantau. Kini proses rehabilitasi masih berjalan. Menurut laporan Guardian, pembangunan kembali perumahan
penduduk baru berjalan sekitar lima persen. Memang terasa lambat, tapi kini kehidupan di Bam terus berdenyut. Proses rehabilitasi
Bam ini dapat dijadikan inspirasi bagi Indonesia dalam merehabilitasi Aceh setelah tsunami.
Soal Kristenisasi Korban Aceh, Pemerintah Indonesia Tuntut WorldHelp
Pemerintah
Indonesia tetap akan menuntut WorldHelp, kelompok misionaris berbasis di Virginia, Amerika Serikat, untuk mencabut pernyataan
bahwa mereka telah mendapat izin pemerintah untuk membawa 300 anak yatim piatu asal Aceh ke Jakarta guna diasuh dan diberi
penanaman ajaran agama Kristen. Demikian berita yang kami kutip dari Republika Online Edisi Jumat 14 Januari.
Pada
berita sebelumnya, dikatakan bahwa koran Washington Post melaporkan adanya 300 anak Aceh yang dibawa ke Jakarta untuk diasuh
oleh kelompok misionaris Worldhelp, dan bahwa anak-anak tersebut akan dikristenkan. Bahkan laporan tersebut mengatakan bahwa
pemerintah Indonesia telah memberikan izin untuk membawa anak-anak tersebut ke Jakarta dan mengetahui program kristenisasi
tersebut. Republika Online menambahkan bahwa pada Jumat pagi berita lanjutan melaporkan bahwa WorldHelp ternyata telah membatalkan
rencananya untuk membawa 300 anak yatim dari Aceh ke Jakarta dan memberikan konfirmasi bahwa ternyata tidak benar anak-anak
Aceh tersebut sudah diangkut ke Jakarta.
MUI Desak Yayasan Kristen Kembalikan 300 Anak Aceh
Berita
adanya adopsi ratusan anak-anak Aceh korban tsunami oleh yayasan-yayasan Kristen mengundang teriakan lantang dari Majlis Ulama
Indonesia (MUI). MUI mendesak PGI dan KWI agar segera mengembalikan anak-anak Aceh tersebut kepada pemerintah. Usai salat
Jumat 12 Januari 2005 di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Sekjen MUI Dien Samsuddin menyatakan jika seruan ini diabaikan,
pihaknya akan bertindak lebih tegas. “Kami sudah sudah punya nama pimpinan kelompok yang membawa anak-anak tersebut,”
ungkap Sekjen MUI seraya menambahkan bahwa jika kasus ini dibiarkan maka akan menjadi masalah serius bagi umat Islam.
Menurut
Dien, kelompok fundamentalis Kristen itu difasilitasi oleh World Life, dan 300 anak Aceh itu sudah dibawa ke luar Jakarta.
Sekjen MUI kemudian mendesak pemerintah agar mengusir World Life dan lembaga misionaris lainnya yang berkedok membantu korban
gempa dan tsunami Aceh.
Pemerintah Indonesia sendiri sudah melarang anak Aceh keluar dari provinsi NAD. Seandainya pun
kebijakan adopsi diberlakukan, maka anak Aceh hanya boleh diadopsi oleh keluarga Muslim, sesuai dengan agama anak Aceh.
Berita
gencarnya kristenisasi anak-anak korban tsunami Aceh menyebar tak lama setelah bencana itu terjadi. Sebagian relawan Muslim
di lokasi bencana antara lain menyaksikan adanya gerakan ibu-ibu 'misterius' yang berkeliling mencari anak-anak Muslim Aceh
untuk diadopsi. Bukan hanya itu, di tempat-tempat pengungsian bahkan terdapat buku-buku kisah para nabi versi Kristen. Dan
yang lebih gila lagi, gambar-gambar porno juga ikut menyusup ke dalam tenda-tenda para pengungsi. Gambar-gambar terkutuk itu
diduga berasal dari relawan asing.
Mewaspadai Relawan Asing di Aceh
Kerisauan
terhadap keberadaan relawan asing, terutama militer, di wilayah korban gempa tsunami di NAD dan Sumut agaknya terus membengkak.
Diberitakan bahwa di depan sejumlah duta besar negara-negara pengirim bantuan ke Indonesia, Presiden SBY bahkan mengimbau
relawan asing agar tidak mengusik urusan dalam negeri Indonesia menyangkut Aceh. SBY juga menjelaskan bahwa Indonesia tetap
mementingkan solusi damai untuk masalah separatisme di Aceh.
Dalam perkembangan terbaru,
Presiden SBY menginstruksikan pembuatan jadwal waktu tahap-tahap penanganan tanggap darurat di Aceh. Presiden mengharapkan
pada 26 Maret mendatang Aceh sudah ditangani sendiri oleh Indonesia, dan tak ada lagi para relawan asing.
Pernyataan
senada juga dikemukakan Wapres Jusuf Kalla. Menurut Kalla, tentara asing sebaiknya keluar lebih cepat dari Aceh dengan pertimbangan
agar Indonesia terlepas dari ketergantungannya dengan bangsa lain. Namun, militer asing diperbolehkan tinggal lebih lama di
Aceh dengan syarat menyalurkan bantuan dalam bentuk bantuan sipil, rumah sakit dan rekonstruksi.
Seperti
diketahui, Aceh adalah kawasan yang sangat sensitif bagi Indonesia karena adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ketika provinsi
ini dilimbas oleh monster tsunami dengan dampaknya yang sangat mengerikan, TNI dan GAM memberlakukan gencatan senjata untuk
sementara. Sekarang, di tengah suasana upaya evakuasi dan upaya pertolongan dari para relawan dalam dan luar negeri, kerisauan
pun muncul, terutama sejak terjadi lagi kontak senjata antara GAM dan Aceh. Kerisauan timbul antara lain dalam dua bentuk,
yaitu terganggunya misi kemanusiaan relawan asing, dan atau sebaliknya; gangguan pihak asing terhadap suasana separatisme
di Aceh. Sebagian orang bahkan ada yang berpendapat bahwa menyalaknya lagi senjata GAM bisa jadi karena ada campurtangan tangan
tentara Australia.
Terlepas
dari benar atau tidaknya dugaan itu, keberadaan militer Australia di Indonesia, walaupun dengan misi kemanusiaan, tetap membawa
beban tersendiri untuk bangsa Indonesia. Pasalnya, bangsa di negara kepulauan yang mayoritas Muslim ini masih trauma dengan
kesewenang-wenangan tentara Australia dalam proses disintegrasi Timor Timur dari Indonesia tahun 1999. Belakangan ini, akibat
kerisauan tersebut Menlu Australia Alexander Downer menyatakan tidak jadi mengirim pasukan militer tambahan ke Aceh dan Sumut.
Di samping masalah separatisme, kekhawatiran lain yang juga mencekam
umat Islam di Indonesia menyangkut relawan asing di Aceh ialah isu kristenisasi. Mereka risau mendengar berita adanya misionaris
yang datang dengan kedok relawan, apalagi sasarannya adalah ribuan anak kecil Aceh yang kini hidup sebatang kara. Di depan
arus kerisauan ini, bagaimanapun pemerintah Indonesia harus tanggap dan bersikap secara lebih proaktif.
Indonesia, Antara Bencana Alam dan Bencana Kemanusiaan
Deputi
Menteri Pertahanan AS Paul Wolfowitz, Ahad 16 Januari bertamu ke Indonesia dengan tujuan resmi meninjau pasukan militer AS
yang menjadi relawan di Aceh. Namun, dari kata-katanya dalam pertemuan dengan sejawatnya di Indonesia, Yuwono Sudarsono, Wolfowitz
nampak menyelipi tujuan itu dengan soal hubungan militer antara AS dan Indonesia. Dia menyatakan pihaknya ingin mencabut embargo
militer AS terhadap Indonesia demi membuka lagi hubungan militer kedua negara.
Embargo
itu sendiri diputuskan oleh Kongres AS tahun 1999 dengan dalih TNI telah melanggar HAM di Timtim, dan sejak itu pula hubungan
Jakarta dengan Washington terlihat beku. Padahal, di era Perang Dingin, TNI yang saat itu bernama ABRI banyak mendapat pelatihan
dan pasokan senjata dari AS. Dengan kata lain, AS ikut berperan banyak dalam memperkuat TNI sehingga institusi militer Indonesia
ini menjadi salah satu mitra militer AS yang tangguh di kawasan Asia Tenggara.
Untuk
sebagian kalangan di Negeri Paman Sam, AS tidak perlu berlama-lama menindak Indonesia terkait kasus Timtim. Pendapat ini direspon
baik oleh kaum konservatif yang berkuasa di AS. Ketika Aceh dan Sumut diterjang tsunami, mereka merasa mendapat momen untuk
menindak-lanjuti hal tersebut guna mengembalikan peranan militer AS di Indonesia. Dengan demikian, kentara sekali bahwa di
saat Indonesia sedang kelabakan dalam upayanya menanggulangi dampak bencana tsunami, AS malah lebih memikirkan interes militernya
di Indonesia.
Mengenai
bantuan AS kepada korban tsunami Aceh dan Sumut, seperti dinyatakan kalangan pemerhati, jumlah bantuan itu masih tak seberapa
jika dibandingkan dana milyaran Dolar yang dihambur-hamburkan AS hanya untuk menduduki Irak dan apalagi menebar bencana di
negeri kaya minyak ini. Kemudian, dengan mengirim pasukan militernya sebagai relawan di Aceh, tujuan yang terpenting bagi
AS ialah memaniskan citra militer AS yang selama ini sudah sangat busuk di mata umat Islam Indonesia, terutama sejak AS menginvasi
Irak. Tujuan itu dinilai penting karena tanpa itu AS jelas sulit berharap bisa mengembalikan peranan militernya di Indonesia.
Maulana Ali Ahmad
Beri Komentar ke:
aliahmad_05@yahoo.com