Indonesia, Antara Bencana Alam dan Bencana
Kemanusiaan
Deputi Menteri Pertahanan AS Paul Wolfowitz, Ahad 16 Januari bertamu
ke Indonesia dengan tujuan resmi meninjau pasukan militer AS yang menjadi relawan di Aceh. Namun, dari kata-katanya dalam
pertemuan dengan sejawatnya di Indonesia, Yuwono Sudarsono, Wolfowitz nampak menyelipi tujuan itu dengan soal hubungan
militer antara AS dan Indonesia. Dia menyatakan pihaknya ingin mencabut embargo militer AS terhadap Indonesia demi membuka
lagi hubungan militer kedua negara.
Embargo itu sendiri diputuskan oleh Kongres AS tahun 1999 dengan
dalih TNI telah melanggar HAM di Timtim, dan sejak itu pula hubungan Jakarta dengan Washington terlihat beku. Padahal, di
era Perang Dingin, TNI yang saat itu bernama ABRI banyak mendapat pelatihan dan pasokan senjata dari AS. Dengan kata lain,
AS ikut berperan banyak dalam memperkuat TNI sehingga institusi militer Indonesia ini menjadi salah satu mitra militer AS
yang tangguh di kawasan Asia Tenggara.
Untuk sebagian kalangan di Negeri Paman Sam, AS tidak perlu berlama-lama
menindak Indonesia terkait kasus Timtim. Pendapat ini direspon baik oleh kaum konservatif yang berkuasa di AS. Ketika Aceh
dan Sumut diterjang tsunami, mereka merasa mendapat momen untuk menindak-lanjuti hal tersebut guna mengembalikan peranan militer
AS di Indonesia. Dengan demikian, kentara sekali bahwa di saat Indonesia sedang kelabakan dalam upayanya menanggulangi dampak
bencana tsunami, AS malah lebih memikirkan interes militernya di Indonesia.
Mengenai bantuan AS kepada korban tsunami Aceh dan Sumut, seperti
dinyatakan kalangan pemerhati, jumlah bantuan itu masih tak seberapa jika dibandingkan dana milyaran Dolar yang dihambur-hamburkan
AS hanya untuk menduduki Irak dan apalagi menebar bencana di negeri kaya minyak ini. Kemudian, dengan mengirim pasukan militernya
sebagai relawan di Aceh, tujuan yang terpenting bagi AS ialah memaniskan citra militer AS yang selama ini sudah sangat busuk
di mata umat Islam Indonesia, terutama sejak AS menginvasi Irak. Tujuan itu dinilai penting karena tanpa itu AS jelas sulit
berharap bisa mengembalikan peranan militernya di Indonesia.
Namun demikian, upaya mmperbaiki
citra militer AS di mata publik Indonesia itu justru sulit diharapkan sukses ketika Wolfowitz membuka kedoknya dengan bicara
soal ekspor senjata buatan AS ke Indonesia. Perbaikan citra itu juga tidak mudah bisa dicapai AS di saat perekonomian
Indonesia juga disengsarakan oleh kebijakan lembaga-lembaga moneter dunia yang dikendalikan oleh Washington. Kata sebagai
pengamat, kalau Indonesia sekarang menjadi korban gelombang tsunami yang merupakan bencana alam, maka sebelumnya Indonesia
adalah korban gelombang ketidak-adilan sistem moneter dan perekonomian dunia yang merupakan bencana kemanusiaan.
Reaksi Eropa terhadap Musibah Tsunami
Musibah gempa bumi dan tsunami yang melanda negara-negara Asia
selatan dan tenggara ternyata mengimbas ke permasalahan politik di sejumlah negara Eropa. Tragedi dengan skala luas dan bersifat
internasional itu memang sangat dahsyat. Secara sepintas saja, ketika kita mendengar berita tersebut, kita bisa langsung merasakan
sangat beratnya beban penderitaan yang dialami oleh para korban. Seandainya ada pihak-pihak yang dipastikan mampu memberikan
bantuan, tapi ternyata mereka menunjukkan ketidakpeduliannya atas bencana tersebut, kita tentu paling tidak, akan menyayangkannya,
atau malah mengecamnya. Nilai kemanusiaan mereka sangat layak untuk kita pertanyakan.
Fenomena inilah yang terjadi di negara-negara Eropa. Yang paling
mencolok adalah perilaku PM Inggris Tony Blair. Ia yang pada saat terjadinya bencana sedang melewatkan liburan Natal dan Tahun
Baru di kawasan wisata Sharm El-Sheikh, Mesir, secara jelas-jelas menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap bencana itu dengan
cara tetap menikmati masa-masa liburnya. Padahal, ribuan manusia di seberang bumi sana tewas. Perilaku Blair ini langsung
mendapatkan kritikan keras dari berbagai kelompok di dalam negeri Inggris.
Para pemimpin negara-negara Eropa lainnya juga mendapatkan kritikan
sama, meskipun tensinya tidak sekeras apa yang diterima oleh Blair. Kalangan dalam negeri di negara-negara tersebut juga mengecam
ketidakpedulian para politisi nasional atas nasib warga mereka yang turut tewas dalam bencana tersebut saat mereka melakukan
wisata. Berbagai laporan menyebutkan bahwa jumlah wisatawan mancanegara yang tewas dalam musibah itu mencapai angka 9.000
orang, dan sebagian besarnya berasal dari negara-negara Eropa.
Mendapatkan kritikan seperti itu, para pemimpin negara-negara
Eropa malah menunjukkan rekasi yang bisa dikatakan masih tidak proporsional. Sejumlah negara Eropa melakukan koordinasi satu
sama lain untuk memberikan bantuan bersama-sama. Akan tetapi terlihat sekali bahwa cara kerja mereka sangat lambat dan terkesan
asal-asalan. Mereka juga beramai-ramai memberikan janji bantuan keuangan. Akan tetapi, hampir semuanya tidak menyebut tanggal
pasti, kapan bantuan itu akan diberikan. Jerman lebih parah lagi. Beberapa hari lalu, Kanselir Jerman Gerhard Schroeder menyatakan
bahwa negaranya akan memberikan bantuan sebesar 500 Juta Euro. Akan tetapi, bantuan itu pasti tidak akan diberikan dalam jangka
waktu tiga tahun ke depan. Artinya, bantuan itu baru bisa diberikan setelah tiga tahun, atau setelah empat tahun, atau, seperti
yang disinyalir pejabat PBB Jan Egeland, mungkin tidak dibayarkan sama sekali karena nanti pada akhirnya akan kehilangan momentnya.
Inilah potret peradaban Barat yang memandang manusia sebagai makhluk yang penuh dengan angka-angka ekonomis. Masyarakat
yang sudah mengidentifikasi diri sebagai “economic animal” memang akan melakukan segala-galanya dalam hidup ini
berdasarkan pada keuntungan dan kerugian materi. Yang pasti, peradaban seperti ini sangat tidak layak untuk menjadi pemimpin
dunia.
Antara Bam dan Aceh
Pada pagi hari tanggal 26 Desember tahun 2003,
tepat hari yang sama di tahun 2004 ketika gempa mengguncang Aceh, dunia dikejutkan oleh bencana gempa bumi dahsyat yang menghancurkan
satu kota di Iran, yaitu kota Bam. Kota ini terkenal karena memiliki kompleks kota kuno era Dinasti Sasania yang berusia lebih
dari 2000 tahun. Akibat gempa berkekuatan 6,6 skala richter itu, hampir semua rumah di Kota Bam yang umumnya dibangun dari
tanah liat hancur lebur dan sekitar 40.000 orang tewas tertimbun bangunan. Dahsyatnya bencana ini membuat Iran dibanjiri bantuan
dari seluruh dunia. Hanya tiga hari setelah kejadian, sekitar 40 pesawat asing penuh berisi bantuan mendarat di Iran Dua di
antaranya pesawat dari Amerika Serikat (AS), yang selama ini dijuluki Setan Besar oleh Iran, dan AS pun menjuluki Iran sebagai
poros setan.
Bila kita membandingkan situasi penanganan
bencana Bam dengan bencana Aceh, kita akan melihat poin-poin menarik. Harian Republika edisi 15 Januari 2005 menulis:
Selama masa emergency Iran memang menerima banyak sekali bantuan dari negara lain. ''Tapi, semua bantuan itu langsung
didistribusikan sendiri oleh warga Iran,'' ungkap Duta Besar Iran untuk Indonesia, Shaban Shahidi-Moaddab, saat menerima Republika
di kantornya, Kamis (13/1) petang. Tak ada satu pun helikopter maupun pesawat asing yang ikut terbang di Iran untuk mendistribusi
bantuan.
Shaban menjelaskan bahwa langkah itu ditempuh karena Iran memang mampu mendistribusikan sendiri bantuan-bantuan tersebut
dengan pesawat serta helikopter yang dimilikinya. Karena itu, pihaknya merasa lebih aman jika soal distribusi bantuan ditangani
sendiri. Secara cepat, Pemerintah Iran juga memobilisasi polisi ke Bam untuk membantu para korban. Kantor berita Iran IRNA
pada 28 Desember 2003 (dua hari setelah kejadian) menulis, pemerintah sudah mengirim 7.000 polisi ke Bam. Presiden Iran, Muhammad
Khatami, pun mengerahkan seluruh kekuatan militernya untuk mengevakuasi Bam.
Tak ketinggalan, para ulama di Iran ikut turun ke Bam untuk menyambangi para korban. Selain ikut mendistribusi bantuan,
mengevakuasi jenazah, kalangan ulama ini juga menyediakan dirinya untuk menjadi tempat mencurahkan perasaan bagi para korban
yang masih hidup. Mereka dengarkan semua gundah hati. Mereka juga tidur di tempat-tempat pengungsian bersama para korban.
''Langkah ini memberi pengaruh yang sangat kuat dalam meringankan beban mental para korban,'' lanjut Shaban.
Karena itu, dia pun menyarankan agar ulama-ulama Indonesia kini juga perlu segera datang ke Aceh untuk memberi dukungan
mental kepada para korban. Kesediaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan beberapa fatwa soal Aceh dinilainya cukup
baik. Cuma, katanya, para korban gempa dan tsunami itu juga memerlukan para ulama datang menyambangi. Begitu masa emergency
teratasi, tahap penanganan Bam masuk pada rehabilitasi. Dalam pertemuan dengan 50 negara donor di Jenewa, Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menyerukan bahwa untuk rehabilitasi Bam diperlukan dana satu miliar dolar AS.
Namun, kemudian PBB juga mengungkap bahwa dari kebutuhan sebesar itu dan komitmen bantuan yang begitu banyak, ternyata
realisasinya sampai Januari 2004 baru 17 juta dolar AS. Jauh panggang dari api. Hal inipun diakui Presiden Khatami. Selain
dari situ, Iran juga menerima pinjaman jangka panjang untuk merehabilitasi Bam. Cuma, negara ini sangat selektif dalam memilih
pinjaman. Tidak semua tawaran diterimanya. Pinjaman yang memiliki banyak persyaratan ditolaknya.
Pinjaman itu, antara lain, datang dari Bank Dunia sebesar 200 juta dolar AS dan 200 juta dolar AS dari Islamic Development
Bank (IDB). Dana tersebut dicairkan berdasar proyek yang berjalan. Artinya, Iran tidak langsung menerima semua dana itu secara
kontan. Sejatinya, negara-negara Arab juga hendak memberi bantuan sebesar 400 juta dolar AS. Namun, karena terlalu banyak
persyaratan, maka Iran menolaknya. Selain itu, bantuan juga datang dari Jepang dan Spanyol, berupa material konstruksi bangunan.
Dana-dana tersebut memang disupervisi oleh lembaga-lembaga Asing. Tapi, Iran tidak mau biaya operasional tim supervisi
itu diambil dari dana bantuan. ''Mereka membayar timnya dengan uang mereka sendiri,'' tutur Shaban. Dibanding tingkat kerusakannya,
angka-angka itu belumlah cukup untuk mengembalikan Bam seperti sedia kala. Karena itu, Pemerintah Iran pun merogoh anggarannya
sendiri. ''Barangkali, sampai saat ini 95 persen rehabilitasi Bam kami topang sendiri,'' lanjutnya.
Meski begitu, Iran tetap menjadi negara yang terbuka. Saat ini, setahun setelah gempa terjadi, 30 lembaga swadaya masyarakat
(LSM) masih bergerak di Bam. Kira-kira 30 LSM itu mempekerjakan 1.600 aktivis. Mereka diizinkan masuk Bam karena mengantongi
visa dari Kedutaan Besar Iran di negara masing-masing. Tanpa visa, mereka tak akan bisa masuk Iran
.
Pemerintah Iran mau menerima karena mereka hadir sebagai LSM, bukan sebagai wakil negara asing. Mereka dipercaya tidak
akan menjalankan aksi mata-mata yang merugikan Iran. Meski begitu, kehadiran mereka tetap dipantau. Kini proses rehabilitasi
masih berjalan. Menurut laporan Guardian, pembangunan kembali perumahan penduduk baru berjalan sekitar lima persen. Memang
terasa lambat, tapi kini kehidupan di Bam terus berdenyut. Proses rehabilitasi Bam ini dapat dijadikan inspirasi bagi Indonesia
dalam merehabilitasi Aceh setelah tsunami.
Soal Kristenisasi Korban Aceh, Pemerintah Indonesia
Tuntut WorldHelp
Pemerintah Indonesia tetap akan menuntut WorldHelp, kelompok misionaris
berbasis di Virginia, Amerika Serikat, untuk mencabut pernyataan bahwa mereka telah mendapat izin pemerintah untuk membawa
300 anak yatim piatu asal Aceh ke Jakarta guna diasuh dan diberi penanaman ajaran agama Kristen. Demikian berita yang kami
kutip dari Republika Online Edisi Jumat 14 Januari.
Pada berita sebelumnya, dikatakan bahwa koran Washington Post
melaporkan adanya 300 anak Aceh yang dibawa ke Jakarta untuk diasuh oleh kelompok misionaris Worldhelp, dan bahwa anak-anak
tersebut akan dikristenkan. Bahkan laporan tersebut mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah memberikan izin untuk membawa
anak-anak tersebut ke Jakarta dan mengetahui program kristenisasi tersebut. Republika Online menambahkan bahwa pada Jumat
pagi berita lanjutan melaporkan bahwa WorldHelp ternyata telah membatalkan rencananya untuk membawa 300 anak yatim dari Aceh
ke Jakarta dan memberikan konfirmasi bahwa ternyata tidak benar anak-anak Aceh tersebut sudah diangkut ke Jakarta.
MUI Desak Yayasan Kristen Kembalikan 300 Anak
Aceh
Berita adanya adopsi ratusan anak-anak Aceh korban tsunami oleh
yayasan-yayasan Kristen mengundang teriakan lantang dari Majlis Ulama Indonesia (MUI). MUI mendesak PGI dan KWI agar segera
mengembalikan anak-anak Aceh tersebut kepada pemerintah. Usai salat Jumat 12 Januari 2005 di Masjid Raya Baiturrahman, Banda
Aceh, Sekjen MUI Dien Samsuddin menyatakan jika seruan ini diabaikan, pihaknya akan bertindak lebih tegas. “Kami sudah
sudah punya nama pimpinan kelompok yang membawa anak-anak tersebut,” ungkap Sekjen MUI seraya menambahkan bahwa jika
kasus ini dibiarkan maka akan menjadi masalah serius bagi umat Islam.
Menurut Dien, kelompok fundamentalis Kristen itu difasilitasi
oleh World Life, dan 300 anak Aceh itu sudah dibawa ke luar Jakarta. Sekjen MUI kemudian mendesak pemerintah agar mengusir
World Life dan lembaga misionaris lainnya yang berkedok membantu korban gempa dan tsunami Aceh.
Pemerintah Indonesia sendiri
sudah melarang anak Aceh keluar dari provinsi NAD. Seandainya pun kebijakan adopsi diberlakukan, maka anak Aceh hanya boleh
diadopsi oleh keluarga Muslim, sesuai dengan agama anak Aceh.
Berita gencarnya kristenisasi anak-anak korban tsunami Aceh menyebar
tak lama setelah bencana itu terjadi. Sebagian relawan Muslim di lokasi bencana antara lain menyaksikan adanya gerakan ibu-ibu
'misterius' yang berkeliling mencari anak-anak Muslim Aceh untuk diadopsi. Bukan hanya itu, di tempat-tempat pengungsian bahkan
terdapat buku-buku kisah para nabi versi Kristen. Dan yang lebih gila lagi, gambar-gambar porno juga ikut menyusup ke dalam
tenda-tenda para pengungsi. Gambar-gambar terkutuk itu diduga berasal dari relawan asing.
Mewaspadai Relawan Asing di Aceh
Kerisauan terhadap keberadaan relawan asing, terutama militer,
di wilayah korban gempa tsunami di NAD dan Sumut agaknya terus membengkak. Diberitakan bahwa di depan sejumlah duta besar
negara-negara pengirim bantuan ke Indonesia, Presiden SBY bahkan mengimbau relawan asing agar tidak mengusik urusan dalam
negeri Indonesia menyangkut Aceh. SBY juga menjelaskan bahwa Indonesia tetap mementingkan solusi damai untuk masalah separatisme
di Aceh.
Dalam perkembangan terbaru, Presiden SBY menginstruksikan
pembuatan jadwal waktu tahap-tahap penanganan tanggap darurat di Aceh. Presiden mengharapkan pada 26 Maret mendatang Aceh
sudah ditangani sendiri oleh Indonesia, dan tak ada lagi para relawan asing.
Pernyataan senada juga dikemukakan Wapres Jusuf Kalla. Menurut
Kalla, tentara asing sebaiknya keluar lebih cepat dari Aceh dengan pertimbangan agar Indonesia terlepas dari ketergantungannya
dengan bangsa lain. Namun, militer asing diperbolehkan tinggal lebih lama di Aceh dengan syarat menyalurkan bantuan dalam
bentuk bantuan sipil, rumah sakit dan rekonstruksi.
Seperti diketahui, Aceh adalah kawasan yang sangat sensitif bagi
Indonesia karena adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ketika provinsi ini dilimbas oleh monster tsunami dengan dampaknya yang
sangat mengerikan, TNI dan GAM memberlakukan gencatan senjata untuk sementara. Sekarang, di tengah suasana upaya evakuasi
dan upaya pertolongan dari para relawan dalam dan luar negeri, kerisauan pun muncul, terutama sejak terjadi lagi kontak senjata
antara GAM dan Aceh. Kerisauan timbul antara lain dalam dua bentuk, yaitu terganggunya misi kemanusiaan relawan asing, dan
atau sebaliknya; gangguan pihak asing terhadap suasana separatisme di Aceh. Sebagian orang bahkan ada yang berpendapat bahwa
menyalaknya lagi senjata GAM bisa jadi karena ada campurtangan tangan tentara Australia.
Terlepas dari benar atau tidaknya dugaan itu, keberadaan militer
Australia di Indonesia, walaupun dengan misi kemanusiaan, tetap membawa beban tersendiri untuk bangsa Indonesia. Pasalnya,
bangsa di negara kepulauan yang mayoritas Muslim ini masih trauma dengan kesewenang-wenangan tentara Australia dalam proses
disintegrasi Timor Timur dari Indonesia tahun 1999. Belakangan ini, akibat kerisauan tersebut Menlu Australia Alexander Downer
menyatakan tidak jadi mengirim pasukan militer tambahan ke Aceh dan Sumut.
Di samping masalah separatisme, kekhawatiran lain yang juga mencekam umat Islam di Indonesia menyangkut relawan asing
di Aceh ialah isu kristenisasi. Mereka risau mendengar berita adanya misionaris yang datang dengan kedok relawan, apalagi
sasarannya adalah ribuan anak kecil Aceh yang kini hidup sebatang kara. Di depan arus kerisauan ini, bagaimanapun pemerintah
Indonesia harus tanggap dan bersikap secara lebih proaktif.
Indonesia, Antara Bencana Alam dan Bencana Kemanusiaan
Deputi Menteri Pertahanan AS Paul Wolfowitz, Ahad 16 Januari bertamu
ke Indonesia dengan tujuan resmi meninjau pasukan militer AS yang menjadi relawan di Aceh. Namun, dari kata-katanya dalam
pertemuan dengan sejawatnya di Indonesia, Yuwono Sudarsono, Wolfowitz nampak menyelipi tujuan itu dengan soal hubungan
militer antara AS dan Indonesia. Dia menyatakan pihaknya ingin mencabut embargo militer AS terhadap Indonesia demi membuka
lagi hubungan militer kedua negara.
Embargo itu sendiri diputuskan oleh Kongres AS tahun 1999 dengan
dalih TNI telah melanggar HAM di Timtim, dan sejak itu pula hubungan Jakarta dengan Washington terlihat beku. Padahal, di
era Perang Dingin, TNI yang saat itu bernama ABRI banyak mendapat pelatihan dan pasokan senjata dari AS. Dengan kata lain,
AS ikut berperan banyak dalam memperkuat TNI sehingga institusi militer Indonesia ini menjadi salah satu mitra militer AS
yang tangguh di kawasan Asia Tenggara.
Untuk sebagian kalangan di Negeri Paman Sam, AS tidak perlu berlama-lama
menindak Indonesia terkait kasus Timtim. Pendapat ini direspon baik oleh kaum konservatif yang berkuasa di AS. Ketika Aceh
dan Sumut diterjang tsunami, mereka merasa mendapat momen untuk menindak-lanjuti hal tersebut guna mengembalikan peranan militer
AS di Indonesia. Dengan demikian, kentara sekali bahwa di saat Indonesia sedang kelabakan dalam upayanya menanggulangi dampak
bencana tsunami, AS malah lebih memikirkan interes militernya di Indonesia.
Mengenai bantuan AS kepada korban tsunami Aceh dan Sumut, seperti
dinyatakan kalangan pemerhati, jumlah bantuan itu masih tak seberapa jika dibandingkan dana milyaran Dolar yang dihambur-hamburkan
AS hanya untuk menduduki Irak dan apalagi menebar bencana di negeri kaya minyak ini. Kemudian, dengan mengirim pasukan militernya
sebagai relawan di Aceh, tujuan yang terpenting bagi AS ialah memaniskan citra militer AS yang selama ini sudah sangat busuk
di mata umat Islam Indonesia, terutama sejak AS menginvasi Irak. Tujuan itu dinilai penting karena tanpa itu AS jelas sulit
berharap bisa mengembalikan peranan militernya di Indonesia.
Namun demikian, upaya mmperbaiki citra militer AS di mata
publik Indonesia itu justru sulit diharapkan sukses ketika Wolfowitz membuka kedoknya dengan bicara soal ekspor senjata buatan
AS ke Indonesia. Perbaikan citra itu juga tidak mudah bisa dicapai AS di saat perekonomian Indonesia juga disengsarakan
oleh kebijakan lembaga-lembaga moneter dunia yang dikendalikan oleh Washington. Kata sebagai pengamat, kalau Indonesia sekarang
menjadi korban gelombang tsunami yang merupakan bencana alam, maka sebelumnya Indonesia adalah korban gelombang ketidak-adilan
sistem moneter dan perekonomian dunia yang merupakan bencana kemanusiaan.
Peran Agama dalam Melindungi Lingkungan Hidup Manusia, sebagaimana
makhluk lainnya, memiliki keterkaitan dan ketergantungan terhadap alam dan lingkungannya. Namun demikian, pada abad-abad terakhir
ini, manusia justru semakin aktif mengambil langkah-langkah yang merusak, atau bahkan menghancurkan lingkungan hidup. Tiap
sebentar kita mendengar berita menyedihkan tentang kerusakan baru yang timbul pada sumber air, gunung, atau laut, dan para
ilmuwan menyampaikan dimensi baru dari krisis lingkungan hidup. Para ilmuwan itu mengumumkan ancaman meluasnya padang pasir,
semakin berkurangnya hutan, berkurangnya cadangan air minum, menipisnya sumber energi alam, dan semakin punahnya berbagai
jenis tumbuhan dan hewan. Kini sekitar 40 persen populasi dunia mengalami kekurangan air dan 16 persen dari lahan pertanian
di dunia dimanfaatkan tanpa metode yang tepat, sehingga lahan tersebut kehilangan daya produktivitasnya. Setiap tahun sejumlah
besar hutan di muka bumi ini dimusnahkan. Sementara itu, sumber-sumber alam yang tersedia dimanfaatkan secara tidak adil.
Sebagian negara secara leluasa menggunakan sumber daya alam, sementara sebagian negara menderita kemiskinan dan kelaparan
karena kekurangan sumber daya alam. Berdasarkan sebuah penelitian ilmiah, tingkat polusi lingkungan hidup yang diproduksi
oleh negara-negara industri besarnya 30 hingga 50 kali lipat dari polusi yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang. Pemanfaatan
alam lingkungan secara serampangan dan tanpa aturan telah dimulai sejak manusia memiliki kemampuan lebih besar dalam menguasai
alam lingkungannya. Pada periode Renaissance dan setelahnya, para ilmuawan telah mencapai kemajuan ilmu yang mencolok sehingga
manusia dapat menaklukkan lingkungan dan memanfaatkan sumber-sumber alam. Dengan mengeksploitasi alam, manusia menikmati kemakmuran
hidup yang lebih banyak. Namun sayangnya, seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, alam lingkungan malah dieksploitasi
sedemikian rupa sehingga menimbulkan kerusakan yang dahsyat. Kerusakan alam yang ditimbulkan oleh manusia bersumber dari cara
pandang manusia terhadap alam lingkungannya. Dalam pandangan manusia yang oportunis, alam adalah barang dagang yang menguntungkan
dan manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap alam. Dengan kata lain, bagi manusia oportunis, alam dapat dimanfaatkan
semaksimal mungkin bagi kesenangan manusia. Sebaliknya, manusia yang relijius akan menyadari adanya keterkaitan antara dirinya
dan alam lingkungan. Manusia seperti ini akan memandang alam sebagai sahabatnya yang tidak bisa dieksploitasi secara semena-mena.
Manusia yang menyadari besarnya keterkaitan antara alam dan dirinya, dapat melihat bahwa kondisi alam dewasa ini semakin mengkhawatirkan.
Mereka kemudian mendirikan berbagai lembaga perlindungan lingkungan hidup. Namun demikian, langkah-langkah yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga ini belum mencapai hasil yang memuaskan. Penyebab utama dari masalah ini adalah sikap egois yang ditunjukkan
oleh ngara-negera industri besar dunia, terutama AS. AS sebagai penghasil polusi lingkungan terbesar di dunia tidak bersedia
berperan serta dalam usaha perlindungan lingkungan hidup. AS bahkan menarik diri dari Protokol Kyoto, sebuah konvensi dunia
yang bertujuan mengurangi polusi lingkungan hidup. Di sela-sela pembicaraan masalah lingkungan hidup ini, baru-baru ini dimunculkan
sebuah wacana baru yang mengangkat peran agama dalam mencegah kerusakan lingkungan hidup. Secara umum, agama-agama samawi
memiliki pandangan yang sama mengenai perlindungan terhadap alam semesta. Agama-agama samawi menyatakan bahwa bumi dan segala
segala sesuatu yang tersimpan di dalamnya diciptakan Tuhan untuk manusia. Dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 29, Allah SWT
berfirman, “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menciptakan langit,
lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” Tuhan menyebut alam lingkungan sebagai nikmat
besar yang diberikan-Nya untuk manusia agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupannya secara benar. Dalam surat Jaatsiyah ayat
13, Allah berfirman, “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi, semuanya berasal dari-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Dengan demikian, manusia
sebagai khalifah Tuhan di muka bumi memiliki kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan alam semesta bagi kehidupannya, baik
di bumi, maupun di langit. Selain berhak memanfaatkan alam semesta, manusia juga diberi tanggung jawab untuk menjaga agar
alam semesta tidak mengalami kerusakan. Dalam surat Ar-Ruum ayat 41, Allah SWT berfirman, “Telah tampak kerusakan di
darat dan di laut yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki supaya mereka merasakan sebagian dari perilaku
mereka itu supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” Ayat ini menunjukkan bahwa kerusakan alam lingkungan pada akhirnya
akan memberikan dampak buruk kepada diri manusia sendiri. Sebagai contoh, perilaku manusia yang merusak hutan berakibat pada
bencana banjir yang merenggut nyawa dan melenyapkan harta benda manusia. Ketika bencana alam datang, manusia seharusnya menyadari
kesalahannya dalam mengeksploitasi alam secara semena-mena. Para ilmuwan lingkungan hidup menyatakan bahwa aturan utama dalam
memanfaatkan alam adalah memperhatkan standar dan kapasitas yang ada. Eksploitasi alam secara berlebihan dan tanpa aturan
akan menyebabkan krisis lingkungan. Hal ini sesuai dengan aturan Islam, sebagaimana tercantum dalam surat Al Hijr ayat 19,
sbb. “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu
menurut ukuran.” Pemanfaatan sumber daya alam harus memperhatikan dampak negatif yang terjadi terhadap lingkungan. Sebagai
contoh kasus, dalam sebuah tambang emas, biasa digunakan bahan-bahan kimia untuk memisahkan kandungan emas dari zat-zat lainnya.
Sisa-sisa bahan kimia ini bila dibuang begitu saja ke laut, akan menyebabkan tercemarnya air laut dan teracuninya makhluk
hidup di laut. Akibatnya, manusia pun tidak bisa memanfaatkan makhluk-makhluk laut untuk kehidupannya. Dalam kasus ini, kecerobohan
manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam telah menyebabkan kerugian bagi diri mereka sendiri. Dalam hal ini, Imam Ridha
a.s. pernah bersabda, “Keadilan dan kedermawanan menyebabkan abadinya nikmat Allah.” Karena itu, seadainya manusia
memperhatikan dampak lingkungan hidup, sesungguhnya, dia telah menjaga kelestarian nikmat Tuhan bagi dirinya sendiri. Sebagai
kesimpulan, kita sebagai umat beragama haruslah berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menimbulkan kerusakan pada lingkungan
hidup. Agama-agama samawi, terutama agama Islam, telah menekankan bahwa manusia tidak boleh melakukan kerusakan di alam karena
yang akan menerima dampak negatifnya adalah diri manusia sendiri. *** Agama-agama samawi memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan
alam dengan cara yang baik dan manusia bertanggung jawab dalam melindungi alam dan lingkungannya. Ajaran Islam secara lebih
jelas dan terperinci mengatur masalah ini. Dalam pandangan Islam, alam adalah manifestasi dari kekuasaan Tuhan. Oleh karena
itu, manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi diperintahkan untuk memanfaatkan alam, dan pada saat yang sama, melindungi
kelestarian alam. Agama Islam memandang pemanfaatan alam semesta tanpa metode dan membabi-buta merupakan sebuah bentuk kezaliman
dan akan merugikan manusia sendiri. Berlebih-lebihan dalam memanfaatkan alam dipandang sebagai perilaku mubazir dan dicela
oleh Islam. Dalam Al Quran surat Al A’raf ayat 31, Allah SWT berfirman, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang
indah di setiap mesjid , makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan . Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan.” Di antara kekhawatiran besar yang dikemukakan oleh para ilmuwan lingkungan hidup adalah rusaknya
lapisan ozon di atmosfer. Penyebab menipisnya lapisan ozon adalah gas karbondioksida (CO2) yang bersumber dari pembakaran
bahan bakar fosil dan chloroflourocarbon (CFC) yang bersumber dari penggunaan kulkas dan AC. Kedua gas itu mengeluarkan atom
yang merusak molekul ozon di atmosfer. Kerusakan ozon membuat sinar matahari masuk ke bumi secara berlebihan, tanpa ada yang
menangkal, sehingga dapat menyebabkan kanker kulit dan berbagai penyakit lainnya. Akibat lain dari kerusakan ozon adalah meningkatnya
temperatur bumi. Al Quran dalam surat Al Anbiyaa ayat 32 mendeskripsikan langit sebagai lapisan pelindung bumi. Kata “samaa”
atau langit dalam Al Quran memiliki beberapa makna, di antaranya bermakna atmosfer. Atmosfer bagaikan perisai yang melindungi
bumi dari meteor-meteor yang setiap hari menabrak bumi dengan kecepatan tinggi. Atmosfer juga melindungi bumi dari sinar-sinar
yang dipancarkan matahari yang membahayakan manusia. Oleh karena itu, wajarlah bila atap yang melindungi bumi ini mengalami
kerusakan, manusia dan makhluk-makhluk lain di muka bumi berhadapan dengan bahaya besar. Dengan demikian, atmosfer merupakan
bagian dari nikmat Tuhan yang harus dijaga dan dilindungi oleh manusia demi keselamatan manusia sendiri. Faktor terpenting
dalam kelestarian lingkungan hidup adalah air. Sayangnya, tanpa memperdulikan kenyataan ini, manusia dewasa ini malah menimbulkan
polusi pada sebagian besar sumber air di bumi atau melakukan aktivitas yang berujung pada keringnya sumber air tersebut. Di
berbagai penjuru bumi, banyak manusia yang mengalami kekurangan air. Al Quran secara jelas menyebutkan bahwa kehidupan makhluk
hidup tergantung kepada air. Dalam surat An-Nur ayat 45, Allah SWT berfirman, “Dan Allah menciptakan semua makhluk dari
air…” Dengan demikian, Al Quran bahkan menyebutkan bahwa air merupakan faktor utama dalam penciptaan. Al Quran
dalam berbagai ayatnya juga menyinggung tentang laut. Dalam surat An-Nahl ayat 14, Allah berfirman, “Dan Dialah yang
menundukkan lautan supaya kamu makan daripadanya ikan yang segar, dan supaya kamu mengeluarkan dari dalamnya perhiasan, yang
akan menjadi pakaian bagimu; Dan kau lihat kapal-kapal membelah ombak di dalamnya, supaya kamu mencari karunia Tuhan dan supaya
kamu bersyukur.” Melihat pentingnya air laut dalam pandangan Islam, sudah barang tentu, mengotori atau menimbulkan polusi
terhadap laut adalah perilaku zalim yang dibenci Islam. Dalam berbagai riwayat Islam juga disebutkan seruan kepada kaum muslimin
agar melindungi kebersihan air laut yang merupakan manifestasi keindahan kekuasaan Tuhan. Selain itu, dalam riwayat disebutkan
mengenai pahala besar yang diberikan kepada manusia yang berperan dalam menjaga kebersihan air sungai dan sumur. Dalam hadis
dari Imam Shodiq a.s. disebutkan, ada enam perbuatan yang akan terus mendapatkan pahala meskipun orang yang melakukannya telah
meninggal, satu di antaranya adalah mewakafkan air sumur atau air sungai yang mengalir di tanah miliknya di jalan Allah. Salah
satu faktor penting dalam melindungi kelestarian air adalah pepohonan. Dewasa ini, penebangan hutan-hutan merupakan sebab
utama dari kerusakan lingkungan hidup. Islam telah mengajarkan agar manusia melindungi tumbuh-tumbuhan. Di satu sisi, Islam
menyeru umatnya agar menanam tumbuhan, dan di sisi lain, Islam juga menyeru agar selama masih memungkinkan, manusia tidak
menebang pepohonan. Nabi Muhammad SAWW dalam sebuah hadis bersabda, “Siapa saja yang menanam sebuah pohon, dan pohon
itu berbuah, Allah akan memberikan pahala kepada orang itu sebanyak buah yang tumbuh dari pohon tersebut.” Dalam sebuah
riwayat disebutkan, Imam Shodiq a.s. bersabda, “Janganlah kalian memotong pohon buah karena Allah akan menurunkan azab
kepada kalian.” Selain itu, Islam juga menyeru manusia untuk menanami bumi dengan tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat. Dalam
pandangan Islam, bertani atau bercocok tanam adalah pekerjaan yang terbaik. Rasulullah SAWW bersabda, “Orang yang memakmurkan
tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” Imam Shodiq a.s. bersabda, “Kehidupan tidak akan bahagia bila
tidak ada tiga hal, yaitu udara yang bersih, air yang banyak, dan tanah yang subur.” Dengan demikian, manusia hendaknya
menjaga kelestarian ketiga hal tersebut.
Maulana Ali Ahmad
Beri Komentar ke:
aliahmad_05@yahoo.com